Minggu, 12 Juni 2022

Serba-Serbi Masa Kecilku

Saban hari, saya melewati lorong-lorong kota insomnia, Jakarta. Banyak kendaraan memadati jalan, bukan saja yang sedang melintas tetapi juga yang parkir "semau gue". Jalan kelihatan sempit dan otomatis menimbulkan kemacetan. Tidak hanya itu, anak-anak usia bermain hilir mudik dan berjalan kian kemari. Di tengah kendaraan yang berlalu lalang, mereka masih sempat menikmati masa-masa emasnya, bermain. Layangan, bola kaki, bersepeda, dan lain sebagainya meramaikan lorong-lorong kota yang sempit.
Orang-orang dewasa sering kali menghakimi mereka karena bermain di tempat yang tidak seharusnya. Beberapa kali saya menjadi bagian dari hakim-hakim jalanan itu. Namun sesering itu juga saya menarik diri dan merenung lebih dalam. Bukankah karena tidak adanya halaman bermain makanya mereka berlaga di jalanan? Bukankah keadaan yang patut disalahkan? Dan bukankah keadaan itu diformat turun temurun oleh orang-orang dewasa yang jarang merasa bersalah atas hal demikian? 


Litani pertanyaan muncul bertubi-tubi hingga tiba pada pertanyaan terakhir yang menampar diriku sendiri? Aku mungkin saja bagian dari pemformat keadaan demikian dan karena itu patut disalahkan. Dan siapakah aku ini sampai-sampai menghakimi anak-anak zaman yang sedang mencari jati diri ini. Ahh ribet! Semuanya tampak kompleks.
Inilah gambar miniatur tentang negeriku yang maha luas ini. Sebagian tampak aman-aman saja seperti gedung-gedung tinggi melangit. Tetapi sebagian yang lain, yang sering tidak dipotret, tampak amburadul, kocar-kacir dan tak terurus.


Setelah sekian sering menatap keadaan ini, saya tersadar akan sejarahku di masa lalu. Keadaan demikian seakan memanggilku pulang ke masa lalu. Bernostalgia dengan masa-masa emas puluhan tahun silam di kampung kecil bernama Lous. Tanah lahir yang berlatar kesajaan. Di sana hiduplah orang-orang yang bergantung sepenuhnya pada kemurahan alam. Mereka pandai menabur dan dengan harapan besar, mereka menanti-nanti musim panen tiba sesuai mimpi dan impian. 
Lous terletak di bagian Timur Indonesia, khususnya di Pulau Flores. Lebih spesifik lagi berada di Kabupaten Manggarai. Di sinilah latar kehidupanku masa kecil dilakonka. Halaman rumah dan kampung, tempat mata air, sawah, ladang, kali, dan hutan adalah sederet tempat kami bermain. Aku yang tumbuh dewasa kini dan di sini dibentuk oleh masa silam dengan latar beragam dan penuh warna. Setidaknya ini yang aku syukuri setinggi-tingginya ketika melihat keadaan di lorong-lorong  kota ini. Dibanding mereka, masa kecilku lebih asyik dan menyenangkan. Bermain sepuasnya tanpa banyak hal yang merintangi. Sebab dengan beragam tempat bermain, semua kreatifitas dan aksi menjadi mungkin. Pokoknya seru dan asyik.
Ibu dan ayah sebagai saksi hidup masa kecilku, kadang seperti polisi, kadang juga seakan tidak mau tahu. Sesekali juga mereka memaksaku untuk tunduk dan nurut atas perintah dan kemauan mereka. Hal-hal baik, nilai, dan tatakrama mereka ajarkan sebagai bekal ziarah ke masa depan. Selebihnya mereka tunjukkan lewat teladan dan peri hidup saleh, ulet, kerja keras, dan tanpa putus asa. Dulu tidak begitu mengerti tetapi saat ini menjadi jelas dan sungguh menjadi inspirasi hidup. 

Dan menariknya, mereka juga sesekali membiarkanku bermain dan berkelana tanpa ditani. Aku diberi banyak sempat untuk berproses menemukan diri terus-menerus. Merelakanku dibentuk dan ditempa oleh beragam keadaan yang kutemui sendiri. Dan pada moment tanpa kehadiran mereka, aku dididik berjalan sendiri, hidup mandiri, memecahkan masalah sendiri, dan bahkan jika jatuh, aku harus mampu bangkit sendiri. Semua hal yang terjadi atas diriku tanpa mereka seakan memberi pesan lagi dan lagi bahwa 'aku bukanlah milik mereka. Silakan berjalan tanpa harus selalu ditemani dan ditopang. Kami cukup mendoakanmu yang terbaik'. 
Yaaa..sejak dini aku ditempa menjalani hidup mandiri, berziarah tanpa henti mencari dan menemukan pemilikku yang sesungguhnya. Setelah aku lahir, inilah cara, entah ke berapa, mereka merelakanku berproses, berkelana mencari dan menemukan makna......

Minggu, 12 Juni 2022

Tantangan Menulis Setiap Hari - #Harike-3: Kamis, 12 Juni 2022

Sabtu, 11 Juni 2022

Kata Ibu: "Engkau Bukan Milikku"

Aku adalah saudara Kelana, musafir dan perantau. Aku terlahir bukan milik siapa-siapa, selain Dia yang mengenalku sejak aku belum terbentuk dalam kandungan ibu. Aku bukan milik ayahku. Aku bukan milik ibukku, meski pernah tinggal sembilan bulan dalam rahimnya. Aku bukan miliknya. Aku tidak bermaksud seperti Malin kundang. Menjadi anak durhaka yang melupakan sang ibu tercinta. Bukan! Sebab yang aku katakan itulah yang sesungguhnya benar. Aku hanyalah titipan di tangan ibu dan ayah. Namun, meski hanya titipan, mereka merawatku dalam dekapan penuh kasih. Sebab ayah dan terutama ibuku tahu siapa sesungguhnya pemilikku.


Maka setelah 9 bulan berlalu, aku dilahirkan. Aku telanjang dan merasakan betapa dunia begitu dingin. Aku menangis. Di telingaku yang masih merah terdengar bisikan: "Selamat datang anakku. Menagislah nak, sebab kamu akan mengalaminya dalam ziarahmu. Dan inilah awal ziarahmu itu." 

Aku didekapnya erat. Ia diliputi haru yang dalam. Sementara matanya berkaca-kaca. Dan lagi katanya: "Aku rela melepaskanmu. Sebab kamu sesungguhnya bukan milikku."  Mulutnya bertutur haru sementara jauh di lubuk hatinya terdalam, doa-doa dilantunkan. Pujian, syukur dan permohonan berpadu dan membubung ke langit, kepada Dia yang maha mengenal segalanya, bahkan mengenal segala sebelum dunia dijadikan
Kala itu aku tak tahu apa-apa tentang semuanya, termasuk yang dibisikan ibu di telinga kecilku. Kata-kata itu terlampau tinggi untuk dipahami oleh aku yang adalah seorang bayi mungil. Bahkan untuk mengingat dan merekam momen-momen kelahiranku sendiri pun tidak. Semuanya, setelah beranjak dewasa aku perlahan mengerti betapa momen-momen itu amat berharga bagiku dan bagi ibu yang melahirkanku.
Bisikan pertama sesaat setelah aku lahir itu adalah kebenaran tetapi sekaligus pertanyaan yang selalu harus dicari jawabannya. Aku dan semua kita bukanlah milik siapa-siapa. Kita hanyalah titipan di tangan orang-orang baik dan terkasih.  Mereka merawat, menjaga, melindungi, mendidik, dan membesarkan seolah-olah kita milik mereka. Tetapi pada akhirnya mereka tahu dan sadar bahwa semuanya harus mereka lepaskan pergi. Tidak ada yang tinggal tetap pada mereka selain kenangan suka dan duka serta doa-doa terbaik untuk kita yang terbaik.

Hal-hal terbaik mereka berikan hingga akhirnya mereka menitipkan kita lagi ke masa depan yang penuh ketidakpastian. Saat jauh, ketika terpisah jarak ribuan kilo meter, aku baru sadar dan mengerti mengapa ibu membiarkan aku menangis di hari lahirku. Kini dan di sini, ketidakpastian dan aneka kejutan sering kali mendatangkan air mata. Sesal, cemas, ragu, bahkan rasa takut membayangi hari-hariku.
Tetapi aku sadar bahwa ibu, yang karena tahu akan segala nestapa di hari depan, ia telah siapkan hatinya dan perisai terbaik bagi anaknya. Sebagaimana aku nyaman dalam kandungannya selama waktu 9 bulan dan dalam pelukan-pelukan masa kecil demikian juga aku kini dan akan nyaman di balik perisai pemberiannya. Hanya dengan itu, ia dulu merasa yakin merelakanku pergi, bahkan sejauh jarak yang tak terbayangkan ini. 
Aku dititipnya ke masa depan hanya dengan satu perisai sekaligus jalan yang diyakininya sebagai jalan yang benar dan tepat. Ia menitipkanku ke masa depan lewat doa-doa tanpa henti. Ia telah mengajariku berdoa dan selalu berdoa untukku. Doa-doa ibu adalah perisaiku.

Saat ini aku sadar mengapa harus berdoa? Sebab hanya inilah jalan satu-satunya aku dapat mencari dan mengenal siapa pemilikku sesungguhnya. Aku saudara Kelana. Dibiarkan pergi oleh ibu ayahku agar menemukan siapa pemilikku sebenarnya. "Kamu bukan milikku" adalah pesan sekaligus pertanyaan yang selalu harus aku cari dan temukan jawabannya. Maka itulah aku berkelana.......

Pekayon, Pasar Rebo - Jaktim
Sabtu, 11 Juni 2022

Tantangan Menulis Setiap Hari - #Harike-2: 11 Juni 2022

Jumat, 10 Juni 2022

Saudara & Saudari Kelana




Hidup adalah peziarahan.  Manusia berziarah serta berkelana entah kemana. Ia adalah perantau dan musafir. Berkelana demi mencari arti dan makna kehidupannya. 

Di penghujung tahun ajaran 2021/2022, pada pelajaran penutup, saya mengajak para peserta didik kelas 5 di SD Edelweiss Bekasi untuk keluar dari kelas dan pergi menyelami pelajaran alam semesta. Saya mengajak mereka untuk belajar bersama alam. 

Beberapa potongan kertas saya selipkan di pot bunga, di pohon dan rerumputan. Dan di balik kerta tersebut, terdapat beberapa arahan dan pertanyaan penuntun yang harus dijalankan siswa. Isi kertas kecil inilah yang memungkinkan mereka berjalan dan berlari kian kemari. Berjalan dari satu pohon ke pohon yang lain dan dari pot bunga yang satu ke pot bunga yang lainnya. 
Mereka tidak dibiarkan duduk dan mendengar berlama-lama seperti di dalam kelas. Mereka selalu bergerak. Dan di sela-sela itu menlreka mengambil waktu sejenak untuk duduk dan merenung. Setelahnya mereka harus bangkit kembali dan menjalankan misi berikutnya. Mereka berpacu dengan waktu.

Saya menyebut potongan kertas kecil yang selalu mereka cari dari pohon ke pohon sebagai surat cinta. Dalam surat cinta ini saya memberi arahan dan juga pertanyaan yang merangsang imajinasi mereka. Isi surat cinta tersebut memungkinkan mereka beraktivitas dengan mengaktifkan ke-5 panca inderanya, yakni mata, telinga, hidup, kulit dan lidah. Selain itu setiap pertanyaanemancingnmereka untuk berpikir dan lalu menuangkan pikirannya dalam kertas itu juga. 

Sebagai guru, saya menyaksikan mereka penuh antusias dan semangat. Saya merasa senang dan bangga. Mereka menjalankan aktivitasnya dengan gembira. Sesekali saya melihat mereka berlari, berjalan, lalu duduk, berdiri dan berjalan lagi, dan seterusnya. Dan setelah lewat 45 menit beraktivitas di luar ruangan, saya mengajak mereka kembali ke dalam kelas. 

Seperti berjalan di pinggir pantai yang selalu meninggalkan bekas, demikian pun saya ingin memastikan adanya bekas itu dalam diri peserta didik. Adakah bekas dari apa 6qng mereka lakonkan di luar kelas? Ataukah hanya mengalir seperti air? Dan Alhamdulillah, bekas itu memang sungguh ada. Setiap orang mengutarakan kesan yang menarik dan merasa senang. Mereka mencoba menemukan kaitan antara pokok pelajaran yang sudah diterima dengan aktivitas yang baru saja mereka lakukan. 
Hal menarik pun lahir dari refleksi-reflekai mereka, bukan saja tentang salah satu bidang studi tetapi menyangkut lintas bidang studi. Mereka berbicara dedaunan yang menghasilkan Oksigen, tentang interaksi di antara mereka, dan berakhir pada sebuah kesadaran rohani bahwa segala yang indah, pepohonan, bunga, rerumputan, burung dan sebagainya adalah ciptaan Tuhan yang patut disyukuri. Peserta didik kelas 5 memiliki kesadaran sejauh ini tentu luar biasa. 

Di akhir pelajaran saya menerangkan maksud dari semua yang mereka lakukan. Saya mengarahkan mereka untuk menemukan diri terus menerus lewat berbagai hal yang positif. Belajar banyak hal dengan tekun, semangat dan dengan sukacita adalah jalan menemukan diri. Sebab hidup manusia itu tidak lain adalah peziarahan tanpa henti untuk mencari dan menemukan arti dan makna hidup itu sendiri. Aktivitas di luar kelas hanyalah sebatas ilustrasi tentang hidup manusia. Setiap orang berziarah tanpa henti untuk menemukan arti dan makna hidupnya sendiri. 

Kita adalah saudara dan saudari Kelana?

Bekasi, 10 Juni 2022